30 Juni 2008

O o Ketahuan atawa keteladanan

Ketahuan...

Belum lama, saya ketahuan oleh salah satu anak saya, bahwa saya bersenandung (Jawa: rengeng-rengeng) yang dipandang kurang baik oleh anak saya. Sudah lama, sebenarnya saya meninggalkan lagu-lagu bertema cinta, kecuali untuk kepentingan khusus, yakni mengekspresikan cinta saya kepada istri saya. Entah kenapa waktu itu saya menyenandungkan sebuah lagu bertema cinta. Mungkin terbawa apa yang saya dengar dari radio atau televisi. Yang jelas anak saya tahu benar, bahwa lagu itu termasuk kategori lagu-lagu yang kami kritik apabila anak-anak ikut-ikutan menyanyikannya atau bersenandung dengannya. Oo saya ketahuan, dan sayapun mendapat kritik dari anak saya Muthia yang baru saja naik kelas 2 SD: Ayah, kok nyanyi lagu itu ? (Saya dapat menangkap maksud anak saya: bukankah ayah sering mengkritik perilaku seperti itu?).


Tiga alasan untuk bersyukur

Saya bersyukur, bahwa kesalahan saya mendapat teguran dari anak saya. Pertama karena saya sudah mendapat manfaat adanya external control . Kedua, karena dengan demikian berarti anak saya masih ingat kesepakatan bersama mengenai perlunya meninggalkan lagu-lagu yang tidak baik. Puji Allah, karena kontrol seperti itu sudah berjalan dalam lingkungan keluarga saya. Ketiga, karena mekanisme kontrol sudah berjalan dalam keluarga. Namun demikian, terkadang tampil situasi yang khas untuk anak-anak : anak kami berumur 3 tahun mengingatkan kakaknya dengan hadist inna nuhiina an turoo aurotunaa (sesungguhnya kita dilarang menampakkan aurat kita) sementara dia sendiri dalam keadaan tak bercelana, misalnya.


Keteladanan

Kasus "ketahuan" ini juga mengingatkan saya, bahwa keteladanan itu perlu dan penting. Apabila orang tua menginginkan anak-anaknya menjadi anak shalih tentu para orang tua harus menjadikan diri mereka sebagai rule model. Jangan pernah mengharapkan orang lain menjadi contoh atas idealitas yang kita inginkan dari anak-anak kita. Dikatakan, bahwa satu keteladanan jauh lebih fasih dariapada seribu kata-kata. Karenanya segalanya memang harus dimulai dari diri kita, seperti dipesankan salah seorang Sahabat Nabi : Mulailah dari dirimu! (ibda binafsik!).
Saya ingat contoh lain, ketika seorang ustadz dikritik karena bershadaqah secara terang-terangan dan mengajak pendengarnya untuk melakukan hal yang sama. Apabila dilihat dari satu sisi, kritik itu benar, karena sebaik-baik shadaqah adalah shadaqah yang dilakukan secara rahasia. Namun, kalau menilik beberapa ayat dalam Kitab Suci, ternyata bershadaqah secara terang-terangan ternyata dibenarkan. Satu alasan yang dapat ditangkap atas pembenaran shadaqah secara terang-terangan adalah untuk keperluan memberi teladan. Anak-anak mungkin akan menganggap orangtuanya tidak mempunyai integritas apabila mereka mendengar orang tuanya menyuruh anak-anaknya bershadaqah sementara anak-anaknya tidak pernah melihat dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana orang tuanya bershadaqah. Karenanya orang tua perlu mendemonstrasikan sebagian shadaqahnya di depan-anak-anak mereka. Karena mereka memang membutuhkan keteladanan.
Seperti itu pulalah, masyarakat tidak boleh mempunyai citra yang salah, bahwa para da'i hanya dapat menghimbau tetapi tidak melaksanakan himbauannya. Para wakil rakyat juga harus mendemonstrasikan keteladanan mereka di depan rakyat yang memilih mereka. Orang hukum harus memberikan keteladanan bahwa mereka taat hukum dan bersedia dihukum apabila mereka terbukti melanggar hukum. Para pembuat peraturan jangan justru menjadi orang yang pertama melanggar aturan yang mereka buat. Para dokter harus menerapkan kebiasaan hidup sehat sebagaimana yang mereka anjurkan kepada pasiennya.
Keteladanan dalam semua hal
Keteladanan orang tua diperlukan oleh anak-anaknya untuk semua hal. Tak hanya dalam akhlaq atau cara hidupnya, tetapi juga dalam penerapan pola hidup sehat, termasuk dalam pola konsumsi yang sehat dan seimbang. Apabila orang tua menginginkan anak-anaknya suka buah dan sayuran, maka orang tua juga harus suka buah dan sayuran. Orang tua tidak dapat mengharapkan anak-anaknya untuk tidak takut dengan dokter gigi apabila orang tua tidak pernah memeriksakan dirinya ke dokter gigi. Orang tua tidak dapat mengharapkan anak-anak mereka menghindari menonton sinetron selama orang tuanya mempunyai kegemaran yang sama, walaupun dengan sembunyi-sembunyi. Mengapa? karena nasihat untuk meninggalkan sinetron hanya akan keluar dari lubuk hati yang paling dalam seorang yang juga tidak gemar untuk sinetron.
Orang tua dan keluarga harus bersedia menjadi teladan bagi anak-anaknya, karena anak mereka tidak boleh mendapatkan fakta yang sangat berbeda antara apa yang mereka temukan di sekolah atau di tempat-tempat mereka mengaji dengan apa yang mereka temukan dalam lingkungan keluarganya. Jika yang terjadi demikian, mungkin anak akan mengalami kesulitan untuk melakukan internalisasi nilai-nilai yang mereka pelajari di sekolah-sekolah mereka. Bahkan, dikhawatirkan anak anak mengalami kepribadian yang tak utuh karenanya. Kepribadian yang pecah.
Hanya perlu latihan
Kembali ke soal senandung. Itu bukan hanya sebuah skenario atau ilustrasi belaka untuk membahas tentang perlunya keteladanan. Bukan! Ada sebuah pelajaran dari Sang Rasul ketika beliau menyatakan "Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak bersenandung dengan Al-Quran". (Muttafaq alaih). Jadi memang kita perlu membiasakan bersenandung dengan al-Quran. Belum terbiasa? Tak apa, pembiasan dapat dimulai sekarang, karena pembiasaan akan melahirkan kebiasaan dan kebiasaan akan berbuah kecintaan. Hanya perlu latihan dan latihan itu adalah niscaya! Anak-anak butuh keteladanan, tak cukup dengan kata-kata, termasuk keteladanan orang tua untuk mau berlatih menjadi lebih baik daripada kondisi saat ini.