24 Juni 2008

DOA DAN SIKAP POSITIF MENGHADAPI MUSIBAH SAKIT

Salah satu metoda agama dalam membentuk sikap hidup ummatnya adalah melalui doa. Di samping merupakan sarana komunikasi hamba dengan Tuhannya, doa juga menjadi media pendidikan atau pembentukan karakter. Sikap positif menghadapi sakit, misalnya dapat terbentuk jika doa-doa yang diajarkan nabi dihayati di samping dipraktekkan (dibaca).
Di antara doa yang sangat terkenal, banyak dihafal dan telah banyak dipraktekkan adalah doa berikut :
“Ya Allah, usirlah penyakitnya, Robb manusia, sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha Pemberi kesembuhan, tidak ada kesembuhan melainkan datang dari-Mu, sembuhkanlah dengan kesembuhan yang tidak menimbulkan bekas “
Doa ini menanamkan optimisme akan kesembuhan dari Allah swt dari suatu penyakit, bahkan pada akhir doa terkandung konsep “rehabilitasi”, yakni perbaikan kondisi dari penyakit dengan perbaikan yang optimal, dengan kesembuhan yang tidak meninggalkan bekas atau gejala sisa (dalam bahasa kedokteran disebut sequele).
Untuk menghadapi penyakit yang berat, Nabi memberikan formula doa yang mempertemukan optimisme dan kepasrahan total. Doa itu dapat kita temukan dalam kitab Tibbun Nabawi-nya Syeh Ibnul Qayyim al Jauziyah. Arti doa itu adalah sebagai berikut:
“Robb kami, yang di langit maha kudus nama-Mu, titah-Mulah yang berlaku di langit dan di bumi. Sebagaimana Engkau curahkan rahmat-Mu d langit, jadikanlah rahmat-Mu di bumi. Ampuni dosa-dosa kami dan kesalahan kami, Engkaulah Robb orang-orang yang baik, turunkanlah rahmat dari sisi-Mu dan kesembuhan dari kesembuhan-Mu atas penyakit ini”
Apabila pada suatu titik tertentu, harapan kesembuhan suatu penyakit sudah sangat kecil, maka seorang muslim diminta untuk menyerahkan semua keputusan kepada Allah swt dan tidak dibenarkan untuk mengajukan permohonan untuk segera dimatikan. Dalam situasi yang sangat sulit ini, doa yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
“Ya Allah, jika sekiranya mati itu lebih baik bagiku, maka matikanlah aku, dan sekiranya hidup adalah lebih baik bagiku, maka hidupkanlah aku”.
Dengan begitu, kita dapat memahami bahwa agama mengajak kita untuk senantiasa menjaga pengharapan kita. Dalam suatu ayat, bahkan hilangnya pengharapan dikaitkan dengan hilangnya iman kepada Allah. “Janganlah kamu berputus harapan dari rahmat Allah, karena tidaklah orang akan berputus harapan, kecuali orang yang kafir”
Sikap positif terhadap penyakit yang diajarkan melalui doa-doa itu sejalan dengan pernyataan Sang Nabi tentang kewajiban berobat yang tersebar dalam berbagai hadis, yang di antaranya dapat dikutip sebagai berikut: “Berobatlah kalian wahai hamba Allah, karena sesungguhnya Allah swt tidak menurunkan penyakit, kecuali Dia juga menurunkan obatnya”.

Membaca doa di samping merupakan satu bentuk ibadah, juga meneguhkan tauhid (pengakuan Allah sebagai pemberi kesembuhan) serta menjaga kadar optimisme dan kepasrahan kepada titah Allah dalam formula yang pas.

Ada sisi lain yang tak kalah menariknya. Ketika Nabi mengajarkan sebuah doa, berarti beliau mengajarkan bagaimana kita bersikap. Meminta kebaikan dunia mengharuskan kita bersikap produktif dan meminta kebaikan akhirat menngharuskan kita bersikap sebagimana orang-orang shalih bersikap. Apabila nyeri, kita dianjurkan berdoa "bismillah 3 x, aku berlindung kepada izzah dan kudrat-Nya dari apa yang telah terjadi dan apa yang mungkin akan terjadi". Luar biasa, sebuah doa yang mengajarkan sikap kehati-hatian dan kewaspadaan dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi.









MENGHARGAI ANAK

Di samping kasih sayang, anak juga membutuhkan penghargaan. Karenanya hargailah mereka, agar mereka berkembang menjadi orang yang percaya diri dan pandai menghargai orang lain. Hargailah hak milik mereka, walaupun bagi kita tampak sebagai barang sepele. Hargailah hasil karya mereka, agar mereka tidak tumbuh menjadi orang yang suka menyepelekan orang lain atau takut berkreasi. Hargailah pendapat mereka, sekalipun salah, agar mereka tidak menjadi orang yang takut mengemukakan pendapat. Berikan pujian atau hadiah untuk prestasi mereka, karena hal itu akan mendorong mereka terus berprestasi. Kurangi hukuman atau celaan, karena mereka masih belum banyak tahu tentang hakikat perbuatan mereka atau akibat kesalahan yang mereka lakukan. Maafkanlah kesalahan mereka agar mereka tidak berkembang menjadi anak yang pendendam dan rendah diri.
Untuk memperbaiki kesalahan mereka, berikan kepada mereka keteladanan, atau berikan alternatif kepada mereka. Jangan segan minta maaf kepada anak-anak, jika kita bersalah, karena kesalahan bukanlah monopoli anak muda, biarkan mereka meneladani kerendahan hati kita, sehingga mereka tidak berkembang menjadi orang yang angkuh dan tinggi hati serta tidak mau mengakui kesalahan.
Suatu saat, sejumlah anak-anak menirukan muadzin di mushala Nabi, sehingga menimbulkan kebisingan. Sahabat Nabi Muhammad ada yang memarahi anak-anak itu, tetapi respon Nabi Muhammad ternyata berbeda. Beliau mendekati anak-anak itu, memuji kemerduan suara mereka dan memilih anak yang mempunyai suara paling merdu untuk ditugaskan menjadi muadzin di tempat lain.
Penghargaan Nabi kepada anak-anak juga tergambar dalam hadis yang maknanya lebih kurang sebagai berikut: “Beribadahlah dan jangan sekutukan Allah dengan suatu apapun juga. Berputarlah sesuai dengan irama putaran AlQuran dan terimalah kebenaran dari siapapun juga, anak kecil atau orang tua. Sebaliknya tolaklah kebatilan dari siapapun juga, anak kecil atau orang dewasa.”
Cara pandang positif Islam terhadap anak dan generasi muda dapat dilihat dari ungkapan, bahwa kita harus menyiapkan anak-anak untuk jaman mereka, bukan untuk jaman kita. Pandangan Islam yang sangat sangat futuristik juga tercermin dari ungkapan “anak muda sekarang adalah pemimpin di masa depan”.
Karena itulah, kita mendapati anak muda menjadi tokoh penting dalam sejarah Islam, baik periwayat hadis, penghafal al-Quran bahkan prajurit perang yang tangguh.
Penghargaan orang tua kepada anak muda melengkapi kasih sayang mereka. Penghargaan ini akan mendekatkan jarak generasi tua dan generasi muda, sesuatu yang sekarang banyak dikeluhkan oleh orang tua. Jadi jika ingin menciptakan harmoni antara anak dan orang tua, tengoklah kembali apakah sebagai orang tua kita sudah memberikan penghargaan kepada anak-anak kita? Di antara kesalahan kita adalah banyaknya pembahasan tentang kenakalan remaja yang tidak seimbang dengan minimalnya pembahasan mengenai “kenakalan” orang dewasa, atau kontribusi kesalahan orang dewasa, yang menunjukkan kurangnya penghargaan kepada generasi muda. Wallahu a’lam.







KETEGANGAN ANTARA IPTEK DAN AGAMA ?

Jika teknologi pangan telah menemukan cara untuk membebaskan daging babi dari kandungan cacing pita atau larvanya, apakah daging babi akan menjadi halal? Jika Nabi menyuruh mencelupkan lalat rumah yang masuk ke dalam minuman, apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan ilmu kedokteran? Boleh jadi masih ada sejumlah pertanyaan yang dapat dikemukakan yang menunjukkan kesan adanya ketidaksesuaian antara ilmu pengetahuan dan agama.

Pada diskusi tentang kesehatan dan agama telah dibahas keselarasan ajaran agama dengan ilmu pengetahuan, khususnya kedokteran. Dalam hasanah pengetahuan Islam dijumpai buku-buku yang mengupas secara khusus tentang hikmah ditetapkannya syariah dan kajian tentang bukti kebenaran agama menurut pandangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara itu, dalam dunia pendidikan, kita mengenal paket buku “Islam untuk disiplin ilmu”. Jadi, bagaimana dengan pertanyaan-pertanyaan tentang ketidaksesuaian agama dan ilmu?

Ketegangan antara ilmu pengetahuan dan agama dapat disebabkan oleh dua hal, yakni pertama keterbatasan kita dalam menterjemahkan ayat-ayat al Quran dan hadist ( yang disebut dengan ayat-ayat qauliyah ) atau kedua, keterbatasan ilmu pengetahuan dalam menterjemahkan ayat-ayat kauniyah. Perkembangan ilmu pengetahuan sedemikian pesat, demikian pula perkembangan pengetahuan keagamaan berkembang sejalan dengan perkembangan metodologi kajiannya. Karenanya, kajian ilmiah terhadap masalah-masalah agama perlu diperbaharui secara dinamis. Di kalangan ilmuwan sendiri pun terdapat beberapa alat evaluasi dalam metodologi keilmuannya, misalnya masih adanya kontroversi antara ilmuwan yang bergerak di bidang epidemilogi klinik dengan ilmuwan bidang biologi molekuler.

Mengingat keterbatasan pemahaman agama para ilmuwan dan keterbatasan pemahaman iptek para ulama, maka kedua jenis insan cendekia tersebut harus berkolaborasi agar ketegangan antara ilmu dan agama dapat diminimalisasikan. Diperlukan semacam Institut atau forum ilmu pengetahuan, yakni tempat berhimpunnya ulama dan ilmuwan untuk mengkaji isu-isu agama dan iptek. Di dalam wadah inilah isu-isu agama dan ilmu dibahas dan jika perlu diperdebatkan sebelum dilempar sebagai wacana umum. Secara demikian, masyarakat tidak perlu dibingungkan dengan kontroversi yang tidak perlu.

Dalam institut ilmu seperti itu, boleh jadi tidak dicapai kata sepakat untuk semua isu, tetapi dari pembahasan yang mendalam bisa saja mengemuka beberapa alternatif pemahaman terhadap isu tertentu, agar masyarakat dapat menimbang secara proporsional.

Di sisi yang lain, upaya untuk mengurangi kesenjangan antara ilmuwan dan ulama adalah kesediaan ulama untuk mengikuti perkembangan iptek maupun perkembangan metodologi keilmuan dan sebaliknya kesediaan ilmuwan untuk mengaji, memperdalam pengetahuan keagamaannya, baik substansinya maupun metodologinya. Etos keilmuan sebagaimana ditegaskan Nabi menjadi pemacu untuk kita semua, ilmuwan maupun ulama: “Tuntutlah ilmu hingga akhir hayat” serta “Tuntutlah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”.

Dalam kaitan ini, kita menemukan penegasan Allah dalam surat Ali Imron ayat 79, bahwa untuk menjadi insan robbani (berilmu dan bertaqwa), kita harus melestarikan dua aktivitas: mengajarkan kitab Allah dan terus mengkajinya. Dengan etos keilmuan ini, ada harapan kita semua akan termasuk dalam kategori manusia yang dijanjikan oleh Allah dengan pernyataannNya: Allah akan meninggikan hamba-Nya yang beriman dan berilmu pengetahuan.
KITA DAN ANCAMAN TBC

Ketidaktahuan, baik karena rendahnya pendidikan atau kurangnya informasi, kerap kali menjadi penyebab langsung atau tak langsung kejadian penyakit. Karenanya, misi pertama yang harus kita emban adalah menghilangkan ketidaktahuan. Akses masyarakat terhadap informasi kesehatan harus ditingkatkan.

Dakwah harus mampu mengemban fungsi mencerdaskan, di samping mencerahkan dan mensejahterakan. Karena itulah dakwah kepada tauhid pun didahului dengan “fa’lam” atau permintaan agar kita mengetahui dengan sebenar-benarnya, bahwa tidak ada Dzat yang pantas diibadahi kecuali hanya Allah. Pengetahuan yang benar diharapkan akan membentuk perilaku yang benar, sebaliknya pengetahuan yang salah atau kurang akan menyebabkan perilaku yang kurang baik hingga menyimpang.

Masyarakat berhak mendapat informasi yang benar tentang kesehatan, sehingga tidak terbelenggu oleh berbagai mitos atau kepercayaan yang tidak berdasar. Berbagai larangan atau pantangan (tabu, pamali) terhadap makanan tertentu atau larangan makan buah pada waktu tertentu dapat menghambat peningkatan status gizi dan imunitas terhadap penyakit. Misalnya,
sebagian masyarakat tidak mau makan buah di pagi hari, sayangnya di siang atau malam harinya juga belum tentu berkesempatan mengkonsumsi buah. Akibatnya dapat diduga, tingkat konsumsi buah masyarakat masih rendah. Mengkonsumsi ikan atau daging sering menjadi pantangan pada anak yang khitan tanpa alasan yang meyakinkan. Demikian pula sayuran dan sumber makanan berserat kurang mendapat perhatian, karena bagi sebagian masyarakat sayuran sering dirancukan dengan sayur (misalnya, opor, rawon, soto, atau sayur tahu adalah sayur tapi tidak mengandung sayuran).

Berbagai pantangan dijumpai pada berbagai etnis di Indonesia yang berisiko kurang terpenuhinya pola gizi ideal: dua belas gizi seimbang. Dalam dataran akidah, dikenal istilah tahayul dan khurafat, sebagai penyakit atau kontaminan akidah. Muhammadiyah menyebut kedua penyakit akidah itu bersama penyakit bidang ibadah (yakni bid’ah) dalam satu paket penyakit masyarakat yang disingkat dengan tbc (tahayul, bid’ah dan churafat). Sayangnya, dewasa ini masyarakat justru sedang demam (ganjen) dengan tayangan beraroma tbc yang sedang menjadi trend di hampir semua stasiun televisi. Anak-anak, yang ada dalam tahap pembentukan karakter dan pola fikir ikut terancam akibat pengaruh berbagai tayangan itu, karena tayangan seperti itu menyebabkan penontonnya menjadi tidak terbiasa berfikir rasional. Barangkali, film Scoobi Doo merupakan perkecualian, karena di akhir ceritanya selalu dapat dibuktikan, bahwa hantu atau monster pengganggu sebenarnya adalah penjahat yang menyamar.

Mengingat ancaman berbagai tahayul baik di bidang agama maupun kesehatan, kita harus memurnikan kembali pengetahuan dan kepercayaan masyarakat kepada pola pengetahuan dan kepercayaan yang benar. Pendidikan menempati posisi strategis dan harus menjadi prioritas untuk menyelesaikan masalah ini. Peran orang tua ketika mendampingi anak menonton televisi harus ditingkatkan. Dalam hal lain : berhati-hatilah dalam memilih sekolah untuk anak kita, karena sebagian pembentukan pola pikir mereka ada di sana. jangan salah pilih sekolah !

( Ijinkan saya ucapkan selamat dan terima kasih kepada Pimpinan, para ustadz dan pegawai SDIT Alam Nurul Islam Yogyakarta untuk program pendidikannya yang unik )
TUMBUH KEMBANG ANAK TANGGUNGJAWAB KITA

Asuh, asih dan asah adalah kebutuhan anak-anak kita untuk bertumbuh dan berkembang secara optimal. Ketiganya adalah kebutuhan primer mereka. Asuh berarti mencukupi kebutuhan gizi dan penjagaan kesehatan mereka. Asih berarti mencukupi kebutuhan mereka akan perhatian, penghargaan dan kasih sayang. Adapun asah berarti memberi kebutuhan mereka akan perangsangan (stimulasi) kecerdasan dan ketrampilan.

Perhatian Nabi kepada anak-anak menjadi teladan untuk kita. Beliau tak segan untuk bergabung dengan permainan anak-anak. Nabi pernah memperlama sujudnya agar cucunya yang naik ke punggung beliau tidak kecewa. Nabi pernah mempercepat shalatnya karena mendengar tangisan anak di luar masjid. Nabi menegur Ummu Fadhil yang bersikap kasar dan merenggut bayi yang ngompol di gendongan Nabi seraya mengatakan ”Kain yang kotor dapat dibersihkan dengan air, dengan apa hati yang keruh dapat dijernihkan?”. Jadi, perhatian Nabi terhadap pembinaan tumbuh kembang anak sangat besar.

Keteladanan Nabi diikuti sahabat-sahabatnya. Khalifah Umar bin Khottob memecat pegawainya yang tidak pernah mencium anak-anaknya dan berkata “Jika anda tidak dapat menyayangi anak-anak tentu tidak dapat menyayangi orang dewasa”. Boleh jadi, Khalifah Umar sangat terkesan dengan ungkapan Nabi SAW : “Siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi”

Penghargaan kepada anak juga sangat nampak di kalangan sahabat Nabi dan generasi sesudahnya. Mereka sangat menghargai Penghafal ayat dan hadist, walaupun anak-anak.
Pada saat pengambilan sumpah jabatan, khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis tersedu-sedu oleh nasihat seorang remaja. Sebelumnya, khalifah mempertanyakan, mengapa ada kaum yang mewakilkan sambutannya kepada seorang remaja. Anak tersebut menjawab secara tepat: “Kalau umur menjadi ukuran, masih ada orang yang lebih pantas menjadi khalifah selain Umar bin Abdul Aziz.” Maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz pun mempersilakan anak tersebut menasihatinya dan beliau menangis oleh nasihatnya itu.

Penghargaan kepada anak seperti itu pada saat ini sudah banyak luntur. Interaksi kita dengan anak-anak juga sangat terbatas dan kita menghibur diri dengan mengatakan, bahwa yang terpenting adalah kualitas interaksi, padahal anak-anak juga membutuhkan kuantitas. Kita tidak boleh berkeras dengan teori kualitas itu, karena mungkin cara pandang anak-anak berbeda dengan kita. Kiranya, kita harus belajar kepada generasi pendahulu kita yang sangat dekat dengan anak-anak. Tidak pantas jika kita mengatakan, bahwa mereka adalah masa lalu dan kita jauh lebih maju daripada mereka serta menjadikan mereka sekedar sebagai sejarah. Keteladanan mereka begitu hidup dan cemerlang!

Akhirnya, anak kita membutuhkan keteladanan kita, sesuatu yang jauh lebih fasih daripada kata-kata. Jangan biarkan mereka mengambil teladan yang tidak semestinya. Jadilah orang tua yang mereka banggakan! Bukan jamannya kita mengatakan kepada mereka: “Nak, jadilah orang yang baik, jangan seperti kami”. Anak-anak bukan milik kita, tetapi kita bertanggungjawab agar mereka bertumbuh dan berkembang secara optimal, menjadi generasi yang sehat, cerdas, trampil dan tercerahkan.

Selamat Hari Anak Nasional...
BAGAIMANA MENSYUKURI NI’MAT KESEHATAN?

Kalau saja kita tidak pernah sakit, mungkin kita kurang bisa merasakan ni’matnya sehat. Bahkan, boleh jadi kita menjadi sombong karena merasa menjadi orang yang perkasa. Jadi bersyukurlah karena kita pernah mendapat kesempatan merasakan sakit pada sebagian usia kita.

Ni’mat sehat memang potensial untuk dilupakan, karena saking terbiasanya kita meni’mati kesehatan. Jadilah kesehatan seolah sebagai barang yang biasa-biasa saja. Benarlah apa yang ditengara Nabi Muhammad SAW: “dua ni’mat Allah sering dilupakan ummatku, yakni kesehatan dan waktu luang.”

Kalau saja kita tidak pernah menyaksikan bagaimana saudara kita yang dirawat di rumah sakit megap-megap karena kesulitan memenuhi kebutuhan oksigen akibat penyakit atau gangguan pada paru atau jantung mereka, boleh jadi kita tidak menyadari, bahwa jantung dan paru kita yang sehat adalah ni’mat yang sangat berharga. Karenanya jangan segan untuk menengok saudara kita yang sakit, karena kunjungan kita di samping akan membesarkan hati si sakit, juga akan mengingatkan kita tentang ni’matnya sehat.

Kalau saja kita tidak pernah terbaring sakit, boleh jadi kita tidak pernah berfikir untuk mengunjungi dokter atau rumah sakit ketika kita sehat, sementara kita secara rutin melakukan servis untuk kendaraan kita. Sebagian kita merasa sayang untuk melakukan check-up kesehatan, atau sekedar memeriksakan tekanan darah, gula darah atau aspek tertentu dari kesehatan kita ketika merasa tidak ada keluhan. Padahal sejak dulu kita setuju dengan pemeo mencegah lebih baik daripada mengobati. Kata-kata Nabi, mungkin hanya sekedar dihafal, tanpa kesan mendalam:“ jaga sehatmu sebelum sakit”

Kalau saja kita tidak menyadari bahaya dehidrasi (kekurangan cairan) maka kita masih saja menganggap bahwa diare pada anak adalah petanda bahwa anak kita akan bertambah gede. Kalau saja kita tidak menyadari bahaya penyakit jantung, mungkin saja kita menganggap nyeri dada sebagai masuk angin duduk. Jadi rasa-rasanya kita bersyukur, bahwa kita diingatkan oleh iklan untuk mengunjungi dokter jika sakit. Padahal, Nabi SAW mengingatkan kepada kita: “Berobatlah, wahai hamba Allah, karena tidaklah Allah menurunkan penyakit, kecuali Dia menurunkan pula obatnya.”

Kalau saja kita tidak tahu betapa mahalnya biaya operasi, cuci darah atau pengobatan tertentu lainnya, boleh jadi kita tidak pernah berfikir untuk mempunyai tabungan kesehatan atau mengikuti asuransi kesehatan. Masih banyak di antara kita yang menempatkan kesehatan sebagai kebutuhan sekunder atau bahkan tertier. Ada di antara kita yang enggan mengikuti asuransi kesehatan, karena berfikir untuk apa kita harus membayar iuran jika kita tidak pernah sakit? Padahal, siapa yang menjamin, bahwa kita akan selamanya sehat? Kalaupun kita sehat, maka iuran kita akan meringankan beban saudara kita yang sakit, sesuai dengan prinsip takaful (saling menjamin).

Kalau saja kita hanya melihat usia harapan hidup rata-rata yang semakin panjang, tanpa memperhatikan bahwa kematian usia muda juga cukup tinggi, mungkin kita masih juga merasa aman di usia muda dan menunda-nunda ibadah. Kalau saja kita tidak melihat orang yang tidak dapat beribadah secara sempurna karena gangguan kesehatan, kita enggan beribadah sekarang juga.

Jadi, ni’mat Allah manakah yang pantas untuk kita dustakan?

23 Juni 2008

Kesehatan dan agama


Sebagai orang kesehatan saya bangga, bahwa masalah kesehatan merupakan alasan yang dapat membebaskan seseorang dari tugas-tugas tertentu atau mendapat dispensasi dalam pelaksanaan tugas atau kewajiban dari Tuhan. Bukan soal bebas tugasnya, tapi hal itu mengindikasikan, bahwa agama sangat memahami sisi lemah manusia. dengan bahasa lain, dapat dibilang, bahwa agama itu sesungguhnya sangat manusiawi. Puasa misalnya, boleh ditinggalkan karena alasan kesehatan, selain karena alasan ketuaan. Bahkan, puasa boleh ditinggalkan jika potensial menimbulkan masalah kesehatan, seperti pada wanita hamil atau menyusui. Agama juga memberi keringanan pada kita yang sakit untuk menerapkan tatacara bersuci dan ibadah yang berbeda dengan tatacara yang harus dilaksanakan manakala kita dalam keadaan sehat.

Penyakit-penyakit fisik atau kondisi fisik yang lemah merupakan satu jenis penyakit di antara dua macam penyakit yang disebut dala Kitab Suci. Penyakit kedua adalah penyakit hati, misalnya ketertutupan untuk menerima kebenaran (cover = tutup, kafir = tertutup), hipokrit (kemunafikan), iri dengki (dalam bahasa arab=ghilla), kikir dan asosial. Kedua macam penyakit itu perlu kita perangi. Dicegah bila belum terjadi, diobati jika sudah ada agar tidak menjadi parah dan menimbulkan masalah berikutnya.

Perhatian agama terhadap kesehatan tercermin dari banyaknya ayat-ayat Tuhan maupun perkataaan dan cara hidup nabi-Nya yang sejalan dengan prinsip promosi kesehatan, prevensi penyakit maupun pengobatan dan rehabilitasi penyakit. Dalam sejarah, Nabi digambarkan tidak pernah mengalami sakit, kecuali pada akhir hayatnya. Beliau pernah mendapat fasilitas dokter pribadi dari seorang Raja Nasrani, namun ternyata di kemudan hari dokter pribadi tersebut mengundurkan diri setelah mendampingi beliau sekian lama, karena kondisi beliau sangat sehat dan bugar.

Perhatian agama terhadap kesehatan juga tercermin dari banyaknya buku karya para ilmuwan dan ulama mengenai kesehatan. Sebut saja Thibbun Nabawi, yang merupakan karya besar Syaikh Ibnul Qoyyim Al Jauzi. Demikian pula munculnya tokoh-tokoh dokter muslim yang gemilang di jamannya seperti Ibnu Sina (Avicenna), Al Biruni dan lain-lainnya.

Perhatian agama yang besar terhadap kesehatan pulalah boleh jadi yang mengilhami Muhammadiyah untuk mendirikan rumah sakit maupun balai pengobatan dan rumah bersalin di seluruh pelosok nusantara. Demikian pula tokoh pergerakan Islam modern Hasan Al Bana menjadikan pemeriksaan kesehatan (check-up) teratur sebagai fatwa pertama di antara 20 fatwa penting kepada para penggiat dakwah.
Secara sederhana sudah ditunjukkan hubungan antara agama dan kesehatan. Sebagai kelengkapan perbincangan ini baiklah ditampilkan beberapa prinsip agama dalam kesehatan, sebagai berikut :
1. Agama menekankan pentingnya pencegahan penyakit dan promosi kesehatan melalui keseimbangan aktivitas, gizi yang baik serta budaya bersih/sehat
2. Agama mengintroduksi konsep ketersediaan obat untuk setiap penyakit
3. Agama menyuruh hamba Tuhan untuk berobat jika sakit
4. Agama menganjurkan pemberlakuan sistem rujukan dalam semua hal, termasuk kesehatan
5. Agama mengajarkan doa dan bersikap positif terhadap penyakit
6. Agama memberi dasar filosofi dan etik mengenai konsep penjaminan kesehatan secara kolektif
Wallahu a'alam