13 Agustus 2008

JIKA INGIN BERHENTI MEROKOK

Sebelum tahun enam puluhan, merokok menjadi gaya hidup yang dibanggakan di kalangan selebritis dan elit Amerika Serikat, setelah itu persepsi masyarakat berbalik seratus delapan puluh derajad: merokok adalah sesuatu yang memalukan untuk dilakukan di depan umum. Konon, merokok adalah tradisi bangsa Indian yang menyebar dan ditiru oleh berbagai bangsa di dunia. Kalangan atas di dunia barat sudah meninggalkan rokok, tapi lagi-lagi kita ketinggalan dalam mengikuti trend. Sebagian masyarakat kita masih saja menganggap merokok sebagai cermin kejantanan atau sarana pergaulan. Ada daerah tertentu di Indonesia yang menandai perubahan fase anak ke pemuda dengan merokok, sehingga mentradisikan anak yang telah khitam untuk berlatih merokok, bahkan ada pula yang menggunakan rokok sebagai pengganti undangan atau pemberitahuan, bahwa seorang anak akan khitan.

Sebenarnya ada sejumlah alasan untuk meninggalkan rokok, baik alasan kesehatan maupun agama. Untuk meninggalkan rokok, kita tidak perlu berfikir tentang tingginya sumbangan industri rokok kepada dunia pajak. Jika anda ingin meninggalkan rokok, juga tidak perlu berfikir terlalu jauh tentang banyaknya pekerja pabrik rokok yang akan kehilangan pekerjaannya. Kalau anda mau, berhentilah merokok sekarang juga, karena masalah perpajakan atau masalah ketenagakerjaan seperti itu bukan porsi anda. Tak perlu memperpanjang wacana ini jika kita mau menghentikan kebiasaan buruk ini.

Jadi sekedar untuk mengingatkan, kalau ingin berhenti merokok, maka kita mesti mulai dari kita sendiri. Sulit mengharapkan anak-anak kita akan menjadi orang yang meninggalkan kebiasaan buruk ini jika kita masih melakukannya. Sekeras apapun peringatan pemerintah tentang bahaya merokok, anak-anak lebih percaya pada apa yang mereka lihat pada orangtuanya. Maka, kalau mau, berhentilah sekarang dan tidak perlu menunggu pemerintah menutup semua pabrik rokok. Tidak perlu juga menunggu adanya larangan merokok, karena yang berani melarang secara tegas merokok hanyalah jajaran perusahaan minyak semacam Pertamina, yang menulis secara eksplisit ”dilarang merokok”. Tapi untunglah Jakarta sudah merintis pelarangan merokok dengan memberlakukan larangan merokok di tempat umum. Di samping mengurangi ekses negatif rokok bagi perokok pasif, peraturan ini juga membatasi anak-anak dari paparan keteladanan negatif perilaku merokok.

Keinginan untuk berhenti merokok tidak perlu terganggu oleh banyaknya kyai atau tokoh agama yang masih suka merokok, karena kajian fikih tentang merokok menyimpulkan bahwa hukum merokok adalah haram atau sekurang-kurangnya makruh. Kebiasaan merokok yang acapkali kita lihat pada sebagian kyai atau tokoh agama bukan pembenar suatu kesalahan, karena kita harus membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa.

Fatwa ulama tentang makruh atau bahkan haramnya rokok banyak didasarkan pada akibat jelek (madharat) merokok. Kita tidak perlu masygul dengan tidak seimbangnya ukuran iklan dengan kecilnya peringatan bahaya merokok, karena hal itu sebenarnya menggambarkan bahwa bahaya merokok sudah sangat difahami oleh masyarakat. Jadi, peringatan itu bukan basa-basi, karena untuk ukuran orang timur, sindiran atau simbol pun sebenarnya sudah mencukupi. Persoalannya lebih pada kesediaan kita untuk mendengarkan dan memperhatikan peringatan itu.