24 Juni 2008

KETEGANGAN ANTARA IPTEK DAN AGAMA ?

Jika teknologi pangan telah menemukan cara untuk membebaskan daging babi dari kandungan cacing pita atau larvanya, apakah daging babi akan menjadi halal? Jika Nabi menyuruh mencelupkan lalat rumah yang masuk ke dalam minuman, apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan ilmu kedokteran? Boleh jadi masih ada sejumlah pertanyaan yang dapat dikemukakan yang menunjukkan kesan adanya ketidaksesuaian antara ilmu pengetahuan dan agama.

Pada diskusi tentang kesehatan dan agama telah dibahas keselarasan ajaran agama dengan ilmu pengetahuan, khususnya kedokteran. Dalam hasanah pengetahuan Islam dijumpai buku-buku yang mengupas secara khusus tentang hikmah ditetapkannya syariah dan kajian tentang bukti kebenaran agama menurut pandangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara itu, dalam dunia pendidikan, kita mengenal paket buku “Islam untuk disiplin ilmu”. Jadi, bagaimana dengan pertanyaan-pertanyaan tentang ketidaksesuaian agama dan ilmu?

Ketegangan antara ilmu pengetahuan dan agama dapat disebabkan oleh dua hal, yakni pertama keterbatasan kita dalam menterjemahkan ayat-ayat al Quran dan hadist ( yang disebut dengan ayat-ayat qauliyah ) atau kedua, keterbatasan ilmu pengetahuan dalam menterjemahkan ayat-ayat kauniyah. Perkembangan ilmu pengetahuan sedemikian pesat, demikian pula perkembangan pengetahuan keagamaan berkembang sejalan dengan perkembangan metodologi kajiannya. Karenanya, kajian ilmiah terhadap masalah-masalah agama perlu diperbaharui secara dinamis. Di kalangan ilmuwan sendiri pun terdapat beberapa alat evaluasi dalam metodologi keilmuannya, misalnya masih adanya kontroversi antara ilmuwan yang bergerak di bidang epidemilogi klinik dengan ilmuwan bidang biologi molekuler.

Mengingat keterbatasan pemahaman agama para ilmuwan dan keterbatasan pemahaman iptek para ulama, maka kedua jenis insan cendekia tersebut harus berkolaborasi agar ketegangan antara ilmu dan agama dapat diminimalisasikan. Diperlukan semacam Institut atau forum ilmu pengetahuan, yakni tempat berhimpunnya ulama dan ilmuwan untuk mengkaji isu-isu agama dan iptek. Di dalam wadah inilah isu-isu agama dan ilmu dibahas dan jika perlu diperdebatkan sebelum dilempar sebagai wacana umum. Secara demikian, masyarakat tidak perlu dibingungkan dengan kontroversi yang tidak perlu.

Dalam institut ilmu seperti itu, boleh jadi tidak dicapai kata sepakat untuk semua isu, tetapi dari pembahasan yang mendalam bisa saja mengemuka beberapa alternatif pemahaman terhadap isu tertentu, agar masyarakat dapat menimbang secara proporsional.

Di sisi yang lain, upaya untuk mengurangi kesenjangan antara ilmuwan dan ulama adalah kesediaan ulama untuk mengikuti perkembangan iptek maupun perkembangan metodologi keilmuan dan sebaliknya kesediaan ilmuwan untuk mengaji, memperdalam pengetahuan keagamaannya, baik substansinya maupun metodologinya. Etos keilmuan sebagaimana ditegaskan Nabi menjadi pemacu untuk kita semua, ilmuwan maupun ulama: “Tuntutlah ilmu hingga akhir hayat” serta “Tuntutlah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”.

Dalam kaitan ini, kita menemukan penegasan Allah dalam surat Ali Imron ayat 79, bahwa untuk menjadi insan robbani (berilmu dan bertaqwa), kita harus melestarikan dua aktivitas: mengajarkan kitab Allah dan terus mengkajinya. Dengan etos keilmuan ini, ada harapan kita semua akan termasuk dalam kategori manusia yang dijanjikan oleh Allah dengan pernyataannNya: Allah akan meninggikan hamba-Nya yang beriman dan berilmu pengetahuan.

1 komentar:

el-fun mengatakan...

Kehidupan manusia memang tak terlepas dari keduanya yakni ilmu dan agama karena keduanya merupakan tiang bagi manusia itu sendiri. Agama menghiasi kalbu manusia dalam merengkuh bahtera kehidupan sedangkan ilmu adalah cahaya yang digunakan untuk berjalan dalam gelapnya kehidupan dan dalam menempuh hidup itu sendiri serta dalam memahami suatu ayat yang tersirat.
Dua hal tersebut memang seharusnya saling mendukung karena letak kesuksesan seorang muslim memang terukur dari kemampuannya dalam memadukan antara ilmu dan agama. Keselarasan dalam menjalakan keduanya membawa dampak positif bagi muslim tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sesuai dengan hadist yang menyebutkan jika kalian menginginkan dunia maka carilah ilmu dan jika kalian menginginkan akherat maka carilah ilmu dan jika kalian menginginkan keduanya maka carilah ilmu.
Ketika kita berpadangan bahwasanya ilmu itu diatas agama maka hal ini hampir mirip dengan pemikiran orang materialis yang tidak percaya dengan tuhan dan menganggap sesuatu tak diakui jika tak bisa dibuktikan dengan rasio manusia. Fakta membuktikan golongan materialis
ini telah hancur mungkin karena azab yang telah ALLOH turunkan atas kesombongan dan kekufuran mereka. Sebaliknya jika berpikiran bahwa agama berada diatas ilmu maka pemikiran semacam itu hampir sama dengan pemikiran beberapa golongan umat beragama yang memepunyai dua kecenderungan yakni mereka yang percaya bahwa agama memang yang mengatur ilmu, bagaimana kewajiban mendapatkannya, meahaminya dan mengamalkannya.Adapula kecenderungan mereka tak menerima ilmu karena percaya penuh pada kekuatan agama dalam mengatur kehidupan mereka,atau menganggap bahwa ilmu itu tak ada kewajiban untuk diketahui.Menurut saya,saya setuju dengan anggapan bahwasanya ilmu adalah alat yang digunakan untuk memahami suatu agama dan untuk mebuktikan kebesaran ALLOH,serta untuk mendapatkan kehidupan dunia dan akherat.Jadi memang sangat perlu diadakan suatu forum khusus untuk memadukan antara para cendekiawan dan para ulama agar orang awam tak mudah terombang ambing dan kebingungan dalam meahami dan mengikutinya.Sedang jika ditemukan suatu cara bahwasanya daging babi dapat terbebas dari cacing pita tetap saja hal itu haram hukumnya bagi umat islam karena selain sudah secara jelas diharamkan di dalam Al-Quran masih terdapat kemungkinan akan ditemukan parasit jenis lain yang lebih berbahaya bagi tubuh manusia.Yang paling utama adalah keyakinan saya akan kebenaran sepenuhnya Al-Quran dalam mengatur hidup manusia dan peraturan tersebut memberi banyak manfaat serta mencegah dari kehancuran manusia di dunia dan di akhirat.